Friday, March 16, 2007

Hecate

“BAWEL!” Tiba-tiba sebuah teriakan bergema di pekarangan pondok itu, membuat Sam tersentak kaget dan rasa mualnya jadi sedikit kambuh lagi.
“EMANG APA URUSAN LO AMA GUE!” Suara itu kembali terdengar, sangat jelas di telinga Sam.
Dengan agak ragu-ragu pemuda itu mencoba mengintip dari balik pohon. Karena sudah malam, sosok orang itu tidak begitu terlihat jelas. Yang pasti, dia seorang cewek dan cewek itu tampaknya sedang menelepon seseorang. Mungkin mereka berdua sedang berada dalam pertengkaran besar, sampai-sampai berteriak histeris begitu.
“LO DENGER YA! KITA ITU UDAH NGGAK ADA URUSAN APA-APA. LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR LAGI, TAU NGGAK?!” bentak cewek itu dengan kasar.
‘Gile sangar banget tuh cewek,’ gumam Sam kagum, meski ia agak merasa takut juga, hehehe.
Dari belakang, sosok cewek itu agak mirip Polly. Tinggi tubuhnya hampir sama, meski cewek ini agak lebih tinggi – menurut perkiraan Sam. Potongan rambutnya juga mirip, meski warnanya berbeda. Rambut cewek ini berwarna coklat, sedangkan rambut Polly berwarna pink mencolok.
“ALAAAHHH... NGGAK USAH NGOMONG LAGI DEH! GUE UDAH CAPEK!” teriaknya lagi dengan suara lantang. Nggak takut tetangga protes ya?
Sam agak menutup kupingnya, takut budeg. Habis, suara cewek galak itu bener-bener bikin sakit telinga sih. Mungkin dia sedang emosi dengan lawan bicaranya di telepon itu.
‘Ngomong-ngomong, canggih juga disini udah ada HP, meski kelihatannya masih model kuno...’ celetuk Sam sambil cengengesan. Padahal ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.
“BERISIK AH, SUKA-SUKA GUE DONG, DASAR COWOK TUA BANGKA!” maki cewek itu sambil melempar HP-nya sehingga tercemplung ke kolam ikan. “MATI SAJA SANA JADI MAKANAN IKAN!” cacinya sekali lagi.
Dengan langkah besar-besar, cewek itu berjalan ke arah Sam (ke arah pondok lebih tepatnya). Karena kejadian itu terlalu cepat, Sam bahkan tidak sempat menghindar. Maklum, saat ini dia sedang dalam keadaan tidak sehat. Untuk berjalan saja sudah sulit, apalagi lari? Sam cuma bisa berharap semoga cewek kasar itu tidak menyadari kehadirannya.

Tuesday, March 6, 2007

Dari Editor utk Calon Penulis

Taken from Pulau Penulis Indosiar. Posted by Luna_TR.
Jgn protes mulu kalau naskah yg kita kirim lama ditanggapinya! Nih, coba deh baca surat salah satu editor dari sebuah penerbit.. Jgn lupa intropeksi diri ya! ^^ Hehehe... Semoga bisa memberi kmu pencerahan ttg perasaan editor.
----------------
Dari Editor untuk Calon Penulis [Keluhan sang editor mahakuasa]
Ada tumpukan naskah di bawah meja. Naskah para calon penulis yang [tentunya] punya impian bukunya bisa diterbitkan THE publishing house of Indonesia. Sayangnya [sama sekali] tidak banyak yang layak terbit. Apa yang bisa diharapkan dari naskah-naskah malang itu kalau adegan pembuka-bab I-halaman 1-paragraf pertama selalu dimulai dengan

“Kring!” Hah, bunyi apa itu? Astaga, sudah jam tujuh! Duh, aku telat lagi deh!”


atau


Tok tok tok!!! “Shinta! Bangun! Kamu sekolah gak?” “Hah! Mama kenapa gak bangunin Shinta dari tadi? Ini sudah jam tujuh!” Lalu Shinta tergopoh-gopoh ke kamar mandi.


Dan keklisean itu msh ditmb bhs SMS ala gw-lo yg disngkt-sngkt n pnh tnda bc…………… sampai berderet-deret banyaknya!!!!!!!!!!!!!


Kalau saja para calon penulis itu tahu: Begitu editor tertentu [*cough* moi] membaca adegan klise seperti di atas---bahkan tak sampai satu paragraf---sang editor yang mahakuasa langsung menumpuknya di meja, menandainya dengan tulisan “TOLAK”, membubuhkan paraf serta tanggal, dan kadang-kadang memberi keterangan “Cerita basi”.


Bisakah Anda para pembaca membayangkan jalan cerita naskah semacam itu? Biasanya, naskah sejenis itu menceritakan kisah hidup sang penulis sendiri. Biasanya, sang penulis masih duduk di bangku SMP atau SMA. Biasanya, sang penulis berjenis kelamin perempuan. Biasanya, si tokoh gadis yang cantik dan populer naksir pemain basket yang ngetop tapi sikapnya dingin setengah mati. Biasanya, ada adegan di kantin sekolah atau di lapangan basket. Biasanya…

Dan akhirnya pun bisa ditebak: kedua tokoh yang tadinya musuhan akhirnya saling menyatakan cinta dan janji sehidup semati.

Tidak ada yang lebih basi daripada itu.

Marilah, hai, para calon penulis yang budiman. Berpikirlah. Gali bakat dan potensi Anda. Jangan sia-siakan sel-sel kelabu Anda. Dan bagi Anda yang sebenarnya tidak memiliki bakat dan potensi, sadarilah keberadaan Anda, dan tuangkanlah kreativitas Anda di bidang-bidang lain.

Jangan buru-buru menyatakan Anda sedang menulis buku hanya karena belakangan muncul penulis-penulis cantik [dan beken] yang karyanya berhasil menjadi best seller. Jangan buru-buru berpendapat, Ah, apa sulitnya menulis novel, cerpenku kan pernah dimuat di Aneka waktu SMA dulu. Jangan menganggap ketika novel [basi] itu akhirnya selesai, penerbit-penerbit akan berebut dan menawarkan royalti paling tinggi.

Banyak-banyaklah membaca. Banyak-banyaklah belajar dari karya orang lain. Mawas diri---kejar impian Anda bila Anda punya napas cukup panjang, atau lupakan saja bila faktor bakat, kemauan, dan kemampuan itu ternyata sangat terbatas. Bila Anda memang punya tiga faktor tersebut, silakan berkreasi, namun jadilah kreatif. Temukan sesuatu yang baru. Cari angle yang tidak biasa. Be creative.

Please.

Siska

Tanggapan editor lain :
Satujuh!!! Dan yg kusadari setelah menghadapi gunung naskah itu: penampilan sangat penting. Paling males baca naskah yg penuh tipp-ex, apalagi kalo coretan tangan terus ditambahi catatan (dg tulisan tangan juga).
Paling suka dapat naskah yg terjilid rapi, ketikan jelas, disertai riwayat hidup pengarangnya. Jadi kelihatan bahwa yg bikin itu "niat".
Oya, tolong juga tiap naskah disertai sinopsis, biar para editor yg mahakuasa ini agak semangat baca naskahnya (kalo sinopsisnya bagus).