Friday, March 16, 2007

Hecate

“BAWEL!” Tiba-tiba sebuah teriakan bergema di pekarangan pondok itu, membuat Sam tersentak kaget dan rasa mualnya jadi sedikit kambuh lagi.
“EMANG APA URUSAN LO AMA GUE!” Suara itu kembali terdengar, sangat jelas di telinga Sam.
Dengan agak ragu-ragu pemuda itu mencoba mengintip dari balik pohon. Karena sudah malam, sosok orang itu tidak begitu terlihat jelas. Yang pasti, dia seorang cewek dan cewek itu tampaknya sedang menelepon seseorang. Mungkin mereka berdua sedang berada dalam pertengkaran besar, sampai-sampai berteriak histeris begitu.
“LO DENGER YA! KITA ITU UDAH NGGAK ADA URUSAN APA-APA. LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR LAGI, TAU NGGAK?!” bentak cewek itu dengan kasar.
‘Gile sangar banget tuh cewek,’ gumam Sam kagum, meski ia agak merasa takut juga, hehehe.
Dari belakang, sosok cewek itu agak mirip Polly. Tinggi tubuhnya hampir sama, meski cewek ini agak lebih tinggi – menurut perkiraan Sam. Potongan rambutnya juga mirip, meski warnanya berbeda. Rambut cewek ini berwarna coklat, sedangkan rambut Polly berwarna pink mencolok.
“ALAAAHHH... NGGAK USAH NGOMONG LAGI DEH! GUE UDAH CAPEK!” teriaknya lagi dengan suara lantang. Nggak takut tetangga protes ya?
Sam agak menutup kupingnya, takut budeg. Habis, suara cewek galak itu bener-bener bikin sakit telinga sih. Mungkin dia sedang emosi dengan lawan bicaranya di telepon itu.
‘Ngomong-ngomong, canggih juga disini udah ada HP, meski kelihatannya masih model kuno...’ celetuk Sam sambil cengengesan. Padahal ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.
“BERISIK AH, SUKA-SUKA GUE DONG, DASAR COWOK TUA BANGKA!” maki cewek itu sambil melempar HP-nya sehingga tercemplung ke kolam ikan. “MATI SAJA SANA JADI MAKANAN IKAN!” cacinya sekali lagi.
Dengan langkah besar-besar, cewek itu berjalan ke arah Sam (ke arah pondok lebih tepatnya). Karena kejadian itu terlalu cepat, Sam bahkan tidak sempat menghindar. Maklum, saat ini dia sedang dalam keadaan tidak sehat. Untuk berjalan saja sudah sulit, apalagi lari? Sam cuma bisa berharap semoga cewek kasar itu tidak menyadari kehadirannya.

Tuesday, March 6, 2007

Dari Editor utk Calon Penulis

Taken from Pulau Penulis Indosiar. Posted by Luna_TR.
Jgn protes mulu kalau naskah yg kita kirim lama ditanggapinya! Nih, coba deh baca surat salah satu editor dari sebuah penerbit.. Jgn lupa intropeksi diri ya! ^^ Hehehe... Semoga bisa memberi kmu pencerahan ttg perasaan editor.
----------------
Dari Editor untuk Calon Penulis [Keluhan sang editor mahakuasa]
Ada tumpukan naskah di bawah meja. Naskah para calon penulis yang [tentunya] punya impian bukunya bisa diterbitkan THE publishing house of Indonesia. Sayangnya [sama sekali] tidak banyak yang layak terbit. Apa yang bisa diharapkan dari naskah-naskah malang itu kalau adegan pembuka-bab I-halaman 1-paragraf pertama selalu dimulai dengan

“Kring!” Hah, bunyi apa itu? Astaga, sudah jam tujuh! Duh, aku telat lagi deh!”


atau


Tok tok tok!!! “Shinta! Bangun! Kamu sekolah gak?” “Hah! Mama kenapa gak bangunin Shinta dari tadi? Ini sudah jam tujuh!” Lalu Shinta tergopoh-gopoh ke kamar mandi.


Dan keklisean itu msh ditmb bhs SMS ala gw-lo yg disngkt-sngkt n pnh tnda bc…………… sampai berderet-deret banyaknya!!!!!!!!!!!!!


Kalau saja para calon penulis itu tahu: Begitu editor tertentu [*cough* moi] membaca adegan klise seperti di atas---bahkan tak sampai satu paragraf---sang editor yang mahakuasa langsung menumpuknya di meja, menandainya dengan tulisan “TOLAK”, membubuhkan paraf serta tanggal, dan kadang-kadang memberi keterangan “Cerita basi”.


Bisakah Anda para pembaca membayangkan jalan cerita naskah semacam itu? Biasanya, naskah sejenis itu menceritakan kisah hidup sang penulis sendiri. Biasanya, sang penulis masih duduk di bangku SMP atau SMA. Biasanya, sang penulis berjenis kelamin perempuan. Biasanya, si tokoh gadis yang cantik dan populer naksir pemain basket yang ngetop tapi sikapnya dingin setengah mati. Biasanya, ada adegan di kantin sekolah atau di lapangan basket. Biasanya…

Dan akhirnya pun bisa ditebak: kedua tokoh yang tadinya musuhan akhirnya saling menyatakan cinta dan janji sehidup semati.

Tidak ada yang lebih basi daripada itu.

Marilah, hai, para calon penulis yang budiman. Berpikirlah. Gali bakat dan potensi Anda. Jangan sia-siakan sel-sel kelabu Anda. Dan bagi Anda yang sebenarnya tidak memiliki bakat dan potensi, sadarilah keberadaan Anda, dan tuangkanlah kreativitas Anda di bidang-bidang lain.

Jangan buru-buru menyatakan Anda sedang menulis buku hanya karena belakangan muncul penulis-penulis cantik [dan beken] yang karyanya berhasil menjadi best seller. Jangan buru-buru berpendapat, Ah, apa sulitnya menulis novel, cerpenku kan pernah dimuat di Aneka waktu SMA dulu. Jangan menganggap ketika novel [basi] itu akhirnya selesai, penerbit-penerbit akan berebut dan menawarkan royalti paling tinggi.

Banyak-banyaklah membaca. Banyak-banyaklah belajar dari karya orang lain. Mawas diri---kejar impian Anda bila Anda punya napas cukup panjang, atau lupakan saja bila faktor bakat, kemauan, dan kemampuan itu ternyata sangat terbatas. Bila Anda memang punya tiga faktor tersebut, silakan berkreasi, namun jadilah kreatif. Temukan sesuatu yang baru. Cari angle yang tidak biasa. Be creative.

Please.

Siska

Tanggapan editor lain :
Satujuh!!! Dan yg kusadari setelah menghadapi gunung naskah itu: penampilan sangat penting. Paling males baca naskah yg penuh tipp-ex, apalagi kalo coretan tangan terus ditambahi catatan (dg tulisan tangan juga).
Paling suka dapat naskah yg terjilid rapi, ketikan jelas, disertai riwayat hidup pengarangnya. Jadi kelihatan bahwa yg bikin itu "niat".
Oya, tolong juga tiap naskah disertai sinopsis, biar para editor yg mahakuasa ini agak semangat baca naskahnya (kalo sinopsisnya bagus).

Friday, February 16, 2007

Hecate

CHAPTER 03
= part 01 =

“Uggghhh...”
Sam berjalan terhuyung-huyung. Kepalanya sangat pusing. Perutnya seakan-akan dijungkirbalikkan dan dunia di hadapannya serasa berputar-putar seperti gasing. Sesekali ia berhenti berjalan untuk menenangkan gejolak dalam perutnya.
“Sam, kamu nggak apa-apa?” tanya Polly cemas. “Muka kamu pucat banget. Sampai-sampai nggak ada bedanya ama mayat hidup. Polly jadi serem nih!”
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Sam menggelengkan kepalanya – berusaha membuat Polly tenang. Kalau cewek itu panik, semua bisa jadi tambah parah! Tapi kalau dipaksa-paksa berjalan terus, rasanya dia juga mulai tidak kuat nih.
Polly memapah Sam. “Tahan sebentar ya Sam. Sebentar lagi kita sampai ke rumahku kok!” katanya mencoba menyemangati Sam yang persis orang mabuk darat laut dan udara sekaligus. Sam mengangguk tanpa ada perlawanan. Ia bahkan sudah tidak kuat untuk marah-marah. Rasa mualnya jauh lebih besar daripada rasa kesalnya sekarang.
Setelah beberapa menit berjalan, Sam dan Polly tiba di sebuah rumah tua, agak mirip pondok batu – menurut Sam. “Ini panti asuhan tempat Polly tinggal. Kamu tunggu sebentar di sini ya! Polly mau minta izin sama Bu Amaryl supaya kamu boleh tinggal di sini.”
Dengan esktra hati-hati, Polly mencoba menyandarkan tubuh Sam di pohon besar di depan panti. Setelah memastikan Sam tidak akan terjatuh, cewek itu buru-buru berlari masuk ke dalam pondok sambil berteriak-teriak memanggil Bu Amaryl. Entah siapa itu.
Sam menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan rasa sakit kepala dan rasa mual-mual di perutnya. Untunglah angin malam itu cukup bersahabat. Sebentar saja Sam memejamkan mata, ia sudah mulai merasa baikan.
“Dasar sial,” gumamnya pelan setelah ia sudah mampu untuk berbicara lagi. “Dikasih racun apa sih gue tadi. Gila, tuh makanan awalnya doang enak. Abis itu jadi enek! Mau muntah gue rasanya. Makanan orang sini emang aneh, selera rendahan. Restoran begitu kok bisa ramai?”
Sam mencoba melihat sekeliling. Memang benar, sepertinya ini sebuah panti asuhan. Kenapa Polly bisa tinggal di rumah seperti ini ya? Apa orangtuanya pemilik panti ini? Sam terus bertanya-tanya dalam hati. Sesekali ia menengok ke arah pintu, memastikan apakah Polly sudah kembali atau belum. Jangan-jangan, cewek itu kabur? Sial benar kalau begitu.

Saturday, February 10, 2007

[Tips] Karakter Novel yg Baik...

Taken from Pulau Penulis. Posted by Christian Simamora alias ino2cent...

1. Karakter utama kamu harus mengalami perubahan, minimal sekali. Tapi inget, karakter boleh mengalami perubahan, tapi jangan sampai mengubah sifat karakter tersebut.
Maksud lo, Ino? Maksud Ino niiih, dalam rentang waktu yang dibatasi plot, kamu harus membuat karakter novel kamu 'berubah', entah itu sisi psikologis, maupun fisik.

Misalnya, ambil novel Princess Diary. Di bab-bab awal, kerasa banget ya nggak pedenya si Mia Thermopolis ini? Nah, bandingin saat di bab-bab akhir. Ohh, dia jauh lebih kuat. Terlepas dia ngerasa nggak siap sebagai ahli waris tahta Genovia, buktinya dia belajar untuk KUAT dan mencoba menyukai status barunya itu. Ada PERUBAHAN kan?

Ato, novel Cintapuccino. Ami, tokoh utamanya mengalami perubahan drastis saat dia memilih Nimo ketimbang tunangannya. Itu juga PERUBAHAN.

Tapi pertanyaan Ino, di kedua novel itu, apakah sifat Mia dan Ami jadi berubah karena perubahan itu? Mia tetap nggak pede kok dengan keadaan dirinya.

2. Voice and Tone
Nah ini dia yang sering terlupakan. Kadang, saking asyiknya menulis novel, voice and tone (gaya bahasa si tokoh) suka kecampur-campur sama gaya bahasa si penulis. Pernah nggak kalian baca novel yang karakternya ancur abis (males belajar dsb) tiba-tiba ngeluarin kata-kata nasehat yang bijaksana? Ato, si karakter umurnya masih sepuluh tahun, tapi sering make kata-kata sulit? Ya dear, kalo ngerasa pernah ngelakuin itu di novel, coba deh dicek. Jangan-jangan di tengah cerita, karakter novelmu pelan-pelan bermetamorfosis jadi... kayak kamu! Aduh, gawat itu.

3. Tokoh harus menghadapi sendiri masalahnya dalam cerita
Dengan kata lain, jangan menggunakan tokoh lain untuk menyelesaikan masalah si tokoh. Misalnya, si tokoh terbelit hutang. Nah, kamu malah membuat si karakter akhirnya dibantu sama bokapnya. Dijamin, kalo kamu nulis seperti ini, pembaca bakal mencak-mencak. Mikirnya kira-kira begini, Ahhh, pantes aja masalahnya selesai... dibantuin bokapnya sih! Pembaca seneng tokoh yang mandiri dan kuat, paling enggak mengatasi masalahnya sendiri.

4. Jangan terpaku sama tokoh utama
Itulah gunanya tokoh pembantu a.ka figuran. Jadi backup saat masalah si tokoh utama sedang dalam situasi cooling down. Tapi jangan melebar juga. Nah, di sinilah plot kamu berguna. Jadi kamu bisa memperkirakan berapa bab kamu akan membahas masalah si tokoh figuran. Sebaiknya jangan terlalu lama dan berbelit-belit, jadinya malah si tokoh figuran yang menonjol, bukan tokoh utama.

5. Masukkan humor
Karakter yang tahu nge-joke biasanya lebih diinget pembaca. Coba deh, karakter novel JOMBLO mana yang lebih kamu inget? Yang paling rajin ngelawak kan. Tapi inget, lawakannya disesuaikan dengan latar belakang si karakter ya.

6. Batasi Keajaiban
Huhuhuhu, suka sebel nggak nonton Bawang Merah dan Bawang Putih. Sebel kan ngeliat setiap kali ada bermasalah, si bawang putih dengan entengnya dibantuin si ibu peri. Nah, kalo kamu setuju sama Ino, berarti jangan praktekkan keajaiban berlebihan ini di novel kamu. Misalnya: untuk kasus cerita tentang tokoh yang terbelit utang. Apa kamu akan membuat adegan si tokoh nemu duit seratus juta di tengah jalan? Ato dia akan memenangkan kuis berhadiah dua milyar? Kalo caranya begitu... selamat, kamu baru aja bikin novel ibu peri.

contoh lainnya, adalah cerita cinta segitiga yang rumit. begitu rumitnya sampe kamu sendiri, sebagai penulis, bingung gimana bikin endingnya. Nah, apa yang kemudian kamu lakukan? Kau bunuh salah satu karakternya. Si karakter malang itu kamu bikin mati kecelakaan/kena penyakit mematikan/ke luar negeri, dsb. Ending sih, tapi garing banget.

7. Hadapkan karakter dengan masalah yang sulit diatasi
Ini perbandingannya, mana yang lebih menarik: novel tentang cewek yang sedang menyiapkan prom dan segala tetek bengek-nya, ato novel tentang cewek yang berencana mencium guru yang ditaksirnya di malam prom. Ino lebih suka yang kedua, jujur aja. Lebih menggigit.

8. Karakter sebaiknya dikasih masalah terus-terusan
Ambillah contohnya, novel tentang cewek yang mo nyium gurunya pas prom itu.

fase 1: si cewek berencana, karena tahun ini terakhir untuknya, berencana nyium guru matematikanya pas prom. Jelas aja rencana gi.la ini dicela temen-temennya.

fase 2: si cewek ditembak temen sekelasnya. Selain itu dia juga dilema, sempat ragu begitu tahu kalo guru yang diam-diam dicintainya itu udah punya pacar.

fase tiga: akhirnya kesampaian juga si cewek nyium si guru. Biarpun di pipi, tapi setidaknya itu bakal jadi kenangan si cewek seumur hidup.

fase 1 --> fase 2 --> fase 3

Nah di antara fase satu dan fase dua kamu bisa selipkan beberapa konflik kecil-kecil, misalnya:
* debat mulut si cewek dan temennya di telepon menyangkut rencana si cewek nyium pak guru,
* pedekate cowok sekelasnya meskipun berkali-kali si cewek menghindar,
* kagetnya si cewek saat tahu tentang tunangan pak guru,
berusaha meyakinkan diri kalo itu gosip tapi akhirnya tahu dari mulut pak guru sendiri kalo dia MEMANG punya tunangan,
* si cewek nangis.

lakukan hal yang sama di sela fase 2 dan fase 3. Dan, tada, kamu jadi punya plot kuat! Bahkan, meskipun belakangan kamu ngerasa poisn-poin tertentu ada yang terlalu berlebihan ato gimana, kamu bisa cepet mengganti karena sebelumnya udah tahu konflik-konflik ini mo diarahkan ke mana.

Ingat, dear: SEBELUM MENULIS, TETAP RENCANAKAN CERITA SEPERTI APA YANG PENGEN KAMU TULIS DALAM BENTUK PLOT. Karena... selain lebih cepet, kamu juga nggak kehilangan kontrol cerita kamu. Apalagi buat yang ngerjain novelnya berdasar mood. Sebulan, ceritanya masih inget. Dua bulan? Tiga bulan? Halah... bisa-bisa tuh novel terbengkalai gitu aja di komputer karena nggak tahu lagi mo nyelesaiinnya gimana. Sayang kan?

Tuesday, January 30, 2007

Bab Pembuka yang Oke ~ part 2

Uhum, satu lagi info bermanfaat...

Taken from "Pulau Penulis Indosiar"

lil_yaaa said...
g penah nemuin novel ato cerita yg diawali dengan keadaan alam. mnrt kalian gmn? misal nih : pagi ini matahari bersinar cerah dsb dsb.

Ino said...
Saran Ino sih--dan biar nggak dicela penulis bukyu ituw, he he he he--hindari kalimat awal 'matahari bersinar'. Kamu kan bisa mendeskripsikan suasana dengan cara lain.

Langit terlihat sangat gelap ketika pemakaman Wulan, tunanganku usai. Beberapa kerabat mulai membuka payungnya masing-masing.

Aku menebarkan pandangan pada wajah mereka satu persatu. Orang bilang, upacara kematian adalah sebuah ajang pertemuan, di mana semua orang berkumpul dan mengenang seseorang yang pegi meninggalkan kita. (Cinta Pertama)

bisa kan diubah jadi begini:

Hitam adalah warna kematian.

Di hari pemakaman Wulan, tunanganku, menda.dak dunia menjadi redup dan sewarna. Payung hitam. Pakaian hitam. Peti mati bercat hitam. Aku lalu berpikir, jangan-jangan semua mengenakan warna hitam supaya terlihat ikut bersimpati--padahal tidak. Di balik penampilan serba hitam para pelayat, tidak ada yang bisa menyaingi kesedihan orangtua Wulan. Beberapa malah berbisik-bisik, jelas sekali tidak sedang membahas kematian Wulan.

Ternyata benar. Aku pernah mendengar orang bilang, upacara kematian adalah ajang pertemuan--malah, ironisnya, pertemuan seluruh anggota keluarga.

Aku menengadah saat mendengar gemuruh serak di langit. Paling tidak, langit tidak munafik, dia benar-benar memperlihatkan kesedihannya hari ini. Sebentar lagi bakal hujan, mencurahkan jutaan tetes air ke bumi. Seperti air mata orangtua yang menangisi kepergian Wulan.

Wulan... tunanganku. Meskipun sebagian dari diriku berusaha mengikhlaskan kepergiannya, aku tak bisa menyangkal, ada bagian dari diriku yang tidak menerima takdir kejam yang diturunkan Tuhan atas kami.... dst

Tips Bab Pembuka yang Oke !

Taken from "Pulau Penulis Indosiar" posted by : Christian Simamora alias ino2cent

INO!


1) USAHAKAN jangan menjadikan adegan bangun pagi sebagai novel pembuka. Selain karena membosankan, biasanya pembuka 'bangun pagi' dilanjutkan dengan adegan 'terlambat', terus 'dimarahi guru killer' dsb. Terlalu biasa.

2) beberapa penulis malah memakai trik membuat konflik di bab pembuka. Konflik yang dipilih nggak terlalu gede tapi bisa membawa pembaca ke konflik utama.

Trik ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah membuat kalimat seruan di baris pertama.

Mis: HEH!! Pindah rumah?!" pekik Tom keras, dengan sukses membuat seisi kantin sekolah menoleh pada rambut keritingnya. Sambil nahan malu, Tom balik duduk, masih saja memandangi cewek yang duduk di depannya. (Cowokku Pangeran Kodok--Della Nova)

3) Jangan membuat deskripsi semua karakter di bab awal. Oke, maunya memang biar pembaca gampang mengenali siapa aja tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita, tapi perlu diketahui cara seperti itu malah mematikan minat pembaca membuka halaman berikutnya karena terlanjur 'capek' mencerna keterangan bab awal.

4) Kamu juga bisa meniru trik penulis berita di koran yang memaparkan rangkuman beritanya di kalimat-kalimat awal.

Hari ini aku resmi putus dengan Daniel. Aku nggak menyangka bisa menerimanya lebih kuat daripada yang kuduga sebelumnya. Kupikir aku akan menangis. Menghabiskan sekotak tisu seperti Tita di Eiffel... I'm In Love. Kupikir aku akan mengurung diri di kamar dan jauh dari peradaban selama berhari-hari.

Kupikir aku akan hancur.

Yah, aku akui aku memang agak shock saat Daniel melambaikan bendera 'putus' padaku saat makan siang tadi. Aku bahkan nggak dapat firasat--aku jadi meragukan intuisi wanitaku karena ini--sama sekali. Suasananya benar-benar nggak mengarah adegan putus; kami hanya akan makan siang berdua di kantin kampus, bercerita tentang hari kami masing-masing, tertawa karena lelucon ringan dan berjanji menelepon sepulangnya dari kampus. Seperti biasanya aja. ... dst.

5) Mulai dengan hal-hal yang kontroversial.

Before I steal, I pray. Saint of Kleptomaniacs, forgive me. That's all. I don't think it's necessary to waste the Saint's time with lame excuses about how society or New York or your parents are making you do it. They know you're weak, original sin and all that. For me stealing is like love: I know it when I see it. (She'll Take It--Mary Carter)

6) Konflik batin

Apakah Anda menilai diri Anda stres?
Tidak, aku tidak stres.

Aku... sibuk. Banyak kok orang yang sibuk. Memang begitulah hidup. Aku punya pekerjaan yang bergengsi, karierku sangat penting untukku, dan aku menikmatinya.

Oke, Memang kadang kala aku agak tegang. Agak tertekan. Tapi please deh, aku ini pengacara di City. Mau bagaimana lagi? (The Undomestic Goddess--Sophie Kinsella)

Gagas Bikin Genre Baru !!!

Berita untuk para penulis...

Taken from "Pulau Penulis Indosiar" posted by : Christian Simamora alias ino2cent

Hi hi hi hi... Ino cuma mo bilang aja nih. Mulai tahun ini GagasMedia ngeluarin genre baru yang namanya Candy Romance. Seperti namanya, Candy Romance itu PURE romance. Kalo kamu salah satu di antara penulis yang sukaaa banget nulis cerita romantis dan merasa layak jadi THE NEXT MIRA W ato THE NEXT MARGA T, berarti kamu cocok dong buat ngisi genre ini. Syaratnya udah:

Naskah diketik (jangan tulis tangan ya, Say).
Panjang naskah 60-70 halaman, spasi 1 Times News Roman 12.
Sertain biodata dan sinopsis naskah kamu.
Kirimkan ke Redaksi GagasMedia Jalan Haji Montong No. 57 Ciganjur-Jagakarsa Jakarta Selatan 12630
Ingat: di amplop tulis CANDY ROMANCE

Akhirnya... ada genre khusus buat kita penyuka romance. HORE!

Friday, January 19, 2007

Hecate

CHAPTER 02
=part 02=

Sluuurrrppp!!!
Polly menyeruput secangkir kopi di depannya. Dingin-dingin begini emang paling enak minum kopi. Ting! Bunyi cangkir yang berdentingan dengan piring membuat Sam tersadar dari lamunannya.
“Kamu nggak apa-apa, Sam? Se-shock itukah?” tanya Polly dengan nada khawatir.
Mulanya Sam tidak menjawab. Namun, beberapa detik kemudian, ia bereaksi juga. “Shock sih, sedikit... Tapi... Really, it was cool! Gue pikir hal-hal yang kayak begitu cuma ada di game-game! Ternyata beneran ada!” oceh Sam penuh antusias. Matanya berbinar-binar bagaikan melihat sebuah berlian.
Maklum, Sam adalah penggemar RPG berat. Selama ini, hal-hal berbau fantasi cuma ada dalam impiannya. Sungguh tak disangka, kini dia bisa melihat semua khayalannya itu dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana tidak senang?!
Mendengar ocehan Sam yang begitu bersemangat, Polly tersenyum puas. Setidaknya, tidak sia-sia dia mengajak Sam berkeliling seharian di kota Morton ini. Walaupun bikin kaki pegal-pegal, yang penting membuahkan hasil. Polly senang karena bisa melihat sisi lain dari diri Sam yang kelihatannya super jutek itu. Dia nggak mengira ternyata Sam suka hal-hal berbau fantasi. Rasanya, nggak cocok ama image-nya, hehehe.
Gluk! Sam meneguk habis secangkir teh yang baru saja disajikan oleh salah seorang pelayan di restoran itu. Kata Polly, ini warung terenak di kota Morton lho. Meski penampilan bangunannya tidak meyakinkan, banyak sarang laba di sana-sini, kursi dan meja yang sudah reyot, tapi makanannya paling memenuhi selera Polly. Entah itu benar atau tidak.
‘Setidaknya teh ini cukup enak, meski rasanya sedikit aneh,’ komentar Sam dalam hati. Ia mengamati cangkir kosong di depan dirinya. Pikirannya melayang-layang lagi, memikirkan apakah masih ada kemungkinan bagi dirinya untuk kembali ke dunianya semula. ‘Gue kangen ama teh yang di dunia...’ gumamnya kemudian.
Melihat Sam yang kembali lesu, Polly mengerutkan dahinya. “Sam, pesen makanan yuk!” katanya mencoba mengalihkan perhatian.
Sam mengangkat kepalanya yang tertunduk. Ia sadar kalau Polly mencemaskan dirinya. Dengan tersenyum kecut, ia menepuk-nepuk kepala Polly. “Boleh. Pilih aja yang menurut lo paling enak.”
Wajah Polly kembali berseri. “Oke. Polly pilihin makanan yang paling lezat! Tapi kamu harus habisin ya!”
Sam mengangguk pelan disertai dengan seulas senyum tipis di bibirnya. Ia mengamati sosok gadis periang di depannya. Cewek yang aneh memang. Rambutnya pink dan matanya bulat. Entah kenapa dengan berada di dekatnya Sam bisa merasa tenang. Padahal dalam situasi terjebak di dunia lain begini, harusnya dia panik berat! Tapi...
“Sam, ini menunya!” seru Polly sambil menyodorkan sebuah buku usang dengan kertas yang sudah menguning ke depan Sam.
“Apa ini? Buku menu atau sampah?” tanyanya polos. Ia mencoba membuka buku itu dengan meminimalkan sentuhan sedapat mungkin. Begitu buku menu itu terbuka, debu setebal satu senti langsung bertebaran kemana-mana, membuat Sam terbatuk-batuk hebat.
Melihat itu, Polly pun panik. Ia mencoba menghalau debu-debu yang berterbangan tadi dengan sebelah tangannya. Lalu dengan segera, ia menyodorkan sebuah sapu tangan pada Sam. “Ini Sam.”
Dengan sebelah tangan menutupi mulutnya, Sam menerima sapu tangan dari Polly. Sapu tangan berwarna merah muda yang dilipat rapi. Sam termenung sesaat kemudian mengembalikannya lagi. “Nggak usah deh. Nanti kotor.”
Mata Polly yang semula sudah bulat menjadi semakin membulat mendengar reaksi Sam barusan. “Pakai!” paksanya.
Sam terbelalak. Ternyata cewek itu bisa galak juga. Sambil tersenyum-senyum geli mengingat tampang melotot Polly tadi, Sam menyeka debu-debu yang menempel di tubuhnya dengan sapu tangan. Untunglah, tidak lama kemudian, tubuh Sam sudah lumayan bersih kembali.
“Maaf. Buku-buku di sini memang sudah berdebu. Jarang ada yang mau lihat sih. Biasanya langsung pesan aja!” ujar Polly bersalah. Mestinya dia memperingatkan Sam terlebih dahulu sebelum sempat membuka buku tua itu.
Sam tersenyum kecut. “Ya sudahlah. Anggap aja gue lagi sial. Nah, sekarang pesan apa ya?” gumam Sam sambil berusaha menyeka debu-debu sisa dari atas buku yang menghalanginya untuk membaca tulisan di buku tersebut. Tangannya menyusuri tiap-tiap menu aneh di sana. Mulai dari ‘lalap daun muda’, ‘tarantula legs’, ‘buaya darat bakar’, ‘kodak goreng mentega’, sampai ‘es sarang lebah’. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah menu ‘bull’s eye scrambled egg’.
“Nah, gue pesen ini aja!”
Polly mengintip untuk melihat menu apa yang ditunjuk Sam. “Bull’s eye scrambled egg? Kamu mau itu?” tanyanya. Sam mengangguk tegas sebagai jawaban. “Ya... yakin???” tanya Polly sekali lagi untuk memastikan.
Pertanyaan kedua dari Polly membuat Sam jadi curiga. Memangnya ada yang salah dengan menu itu. Telur mata sapi kan? Jangan-jangan penduduk di sini nggak pernah makan telur mata sapi ya? Kasihan sekali...
“Iya, aku mau pesan itu!” jawab Sam dengan nada penuh keyakinan.
Polly menunduk, menatap buku menu berdebu di depannya. “Ta, tapi...”
Kecurigaan Sam semakin menjadi-jadi. Dia bingung, masa makan telur mata sapi aja semenakutkan itu? ‘Dasar, tempat ini memang aneh. Mungkin mereka biasanya makan batu ya,’ dengusnya dalam hati.
Polly melanjutkan pembicaraan, mencoba menjelaskan alasan kenapa dia tidak ingin Sam memesan menu tersebut. “Dulu sekali, Polly pernah mencoba masakan itu. E, enak sih... Ta, tapi...”
Rasa penasaran Sam kini sudah tidak tertahankan. Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya dan menuntut penjelasan pada Polly. Padahal ini masalah sepele yang nggak penting untuk didiskusikan ya?
“Memangnya apa salahnya dengan menu itu sih?!”
Polly mengecilkan volume suaranya dan menyuruh Sam mendekatkan kuping padanya. Mungkin ia tidak ingin pembicaraan ini didengar orang, tidak tahu kenapa. “Begini lho. Dulu sewaktu Polly makan makanan ini, Polly mengalami efek samping...” bisiknya perlahan.
Sam mengernyitkan dahi. “Efek samping? Makan telur aja kok ada efek sampingnya?” ujar Sam seakan tidak percaya.
“Eh, ini serius Sam! Sehabis makan memang tidak apa-apa. Tapi begitu Polly pulang, keesokan harinya badan Polly bentol-bentol semua. Dan yang paling mengerikan, seharian itu Polly jadi punya tanduk!”
“TANDUK?!” teriak Sam kaget.
Seisi restoran langsung hening mendengar jeritan Sam. Segenap tatapan mata tertuju pada kedua orang ini. Sam refleks menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Sedangkan Polly cuma bisa tertunduk malu. Untunglah tidak lama kemudian orang-orang itu kembali pada kesibukannya masing-masing.
“Dasar Sam! Kenapa harus teriak-teriak begitu sih. Bikin malu aja. Kalau sampai terdengar sama pemilik restoran ini kan bisa kacau! Jangan-jangan nanti kita malah diusir!” omel Polly sambil menatap tajam mata Sam.
Ditatap seperti itu, jelas Sam menjadi tidak senang. “Kok gue yang disalahin? Siapapun kalau dikasih tau begitu pasti kaget. Untung aja gue nggak jadi pesen menu aneh itu. Nggak kebayang gimana rasanya tumbuh tanduk selama sehari penuh!” gumam Sam bergidik ngeri.
“Nah kalau begitu harusnya kamu berterima kasih sama Polly!” protes cewek itu nggak senang.
Sam menatap wajah Polly dengan tatapan meremehkan. Kayak anak kecil aja, merengek minta ucapan terima kasih, ejek Sam dalam hati. “Ya, ya... Makasih deh. Puas lo? Nah, sekarang mending lo pesenin gue makanan yang wajar. Yang bisa dimakan oleh manusia macem gue ini. Laper banget nih!”
Dengan polosnya Polly mengangguk riang. “Oke, Polly pesenin! Kamu siap-siap makan aja ya! Dijamin lebih enak daripada makanan-makanan di bumi!” seru Polly bangga.
Sam menatap keluar jendela reyot restoran itu. Sepertinya malam sudah tiba. Buktinya, bulan sudah mulai menampakkan wajahnya. Bulan yang sama dengan bulan yang biasa dilihatnya setiap malam. Rasanya sekarang ini dirinya masih tidak percaya bahwa ia sedang terjebak di dunia lain. Ini semua lebih cocok disebut sebagai mimpi belaka daripada sebuah kenyataan yang mengejutkan.
Di bawah naungan langit malam itu, Sam termenung menatap langit kelam sambil menunggu Polly selesai memilih makanan untuk dipesan. Kapankah ini semua akan berakhir? Pertanyaan itu terus berulang-ulang dalam pikiran Sam. Namun, tak seorang pun yang tahu jawabannya. Karena Sam sendirilah yang harus menemukan jalan keluar dari semua ini.
--------------------------------
Oh ya. Sekadar pemberitahuan. Mungkin HECATE ini bakalan gak dipost secara full story. Soalnya aku berpikir untuk ngirim naskah ini ke penerbit *kalau jadi, amin2*
Makanya, tolong dikomen ya kalau sempet ^^! tengkyuw~

Tuesday, January 16, 2007

Hecate

CHAPTER 02
= part 01 =

“Ayo Sam, kita keluar!” seru Polly riang. Dengan sedikit memaksa, cewek itu menarik-narik ujung baju Sam.
Sam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Cowok itu pasrah mengikuti semua kemauan Polly walau sebenarnya dia masih setengah mengantuk. Apa boleh buat, sejak tadi Polly sudah ribut mengajak dia keluar rumah. Saat Sam mandi pun, cewek itu terus berbicara di depan pintu, menyuruhnya supaya cepat-cepat. Entah apa yang menarik di luar sana untuk dilihat. Pemandangannya kan sama dengan yang di bumi?!
“Pokoknya, hari ini Polly akan jadi tour-guide! Polly bakal ajak kamu keliling-keliling. Dijamin asyik deh!” ujar cewek berambut pink itu.
Sam hanya menghela napas, seperti biasa. “Iya deh, sesuka lo aja. Emang apa yang menarik sih! Kata lo, dunia ini sama persis kayak di bumi?” kata Sam setelah selesai mengikat tali sepatunya.
Polly tersenyum-senyum sendiri. “Sama sih, tapi beda! Makanya, kamu harus liat sendiri. Yuk, kita jalan!” Polly menggandeng tangan Sam dan menariknya keluar. Sam pun terpaksa mengikuti.
Begitu Polly membuka pintu – dalam hitungan kurang dari 1 detik – Sam langsung terpana. Matanya melotot dan terlihat bulat sempurna. Mulutnya menganga lebar seakan-akan mau menelan sesuatu bulat-bulat.
“Sam? Kenapa kamu?” tanya Polly heran.
Yang ditanya tidak menjawab. Ia masih saja berada di bawah alam ‘tidak sadar’-nya. Dan di alam itu, kedua sosok Sam sedang bertengkar – mempermasalahkan soal apakah yang dilihatnya ini nyata atau sekedar mimpi belaka.
Di depan pemuda itu kini, terlihat sebuah pemandangan yang tidak asing di matanya. Pemandangan yang hampir setiap hari dilihatnya berulang kali. Namun, benar kata Polly. Sekalipun pemandangan itu sama, dunia ini sama sekali berbeda! Yang benar saja, masa ada naga melayang-layang di atas awan, manusia berwajah kucing bawa-bawa kantong belanjaan, dan bahkan ada unicorn segala!
Melihat reaksi Sam yang seperti itu, Polly refleks tertawa. Tak lama kemudian, setelah tawanya mereda, ia menjelaskan segalanya. “Kaget ya? Naga yang kamu lihat di atas sana adalah pesawat terbang versi Asgard. Gunanya untuk transportasi udara. Lalu... Unicorn itu, di dunia kamu adalah kuda. Di sini, unicorn merupakan transportasi darat yang paling umum. Nah, kalau manusia-manusia itu... Ya, sama kan kayak dunia kamu. Di Asgard juga ada banyak suku. Contohnya manusia kucing yang disebut hoffix, kurcaci alias dwarf, raksasa yang kita namai hugo, dan yang paling banyak, orang normal kayak Polly ini, hehehe!”
Sam masih tidak bereaksi meskipun ia sudah bisa sedikit mendengar penjelasan dari Polly tadi.
Polly cemberut. “Hei, Sam. Kamu dengerin nggak sih? Kenapa diem aja?!”
Sam mengerjapkan matanya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, seraya mengatakan pada dirinya sendiri agar tetap bersikap cool. “Oke, gue udah merasa lebih tenang sekarang. Gue cuma... sedikit shock.”
Polly melirik Sam dengan tatapan jahil. “Sedikit? Tapi menurut Polly, kamu shock banget tuh!” katanya sambil terkekeh geli.
Wajah Sam langsung memerah. “E, enak aja! Nggak tau! Gue cuma agak kaget dengan perubahan lingkungan!” balasnya ketus.
Senyum Polly mengembang. “Ya udah. Kalau kamu udah tenang. Kita jalan-jalan lagi yuk! Masih banyak kejutan lho di depan sana!”
Sam terbelalak. “Masih ada lagi yang lain???”

Sunday, January 7, 2007

Hecate

CHAPTER 01
=part 04=

“Sam...? Saaam...?” Sayup-sayup Sam mendengar seseorang memanggilnya. Suaranya terdengar mirip Polly, cewek misterius aneh yang dikenalnya semalam.

Lho? Tunggu dulu... Polly? Bukankah seharusnya dia udah kembali ke ‘habitatnya’? Kenapa dia masih di sini?

Perlahan namun pasti, Sam membuka mata. Di depannya, tampak sosok Polly yang sedang cemas. Sinar matahari yang tidak terlalu terik menembus gorden jendela kamar Sam, menandakan bahwa hari sudah menjelang siang. Dan benar saja, jam kecil di samping tempat tidur Sam sudah menunjukkan pukul 10 pagi lewat 23 menit – kira-kira.

Cowok itu terheran-terheran. Setau dia, Polly sudah kembali ke Asgard sekarang. Kenapa sekarang cewek itu masih ada di sini, ya? Jangan-jangan... Ya, nggak salah lagi! Polly pasti gagal melakukan upacara ritual aneh semalam – begitu perkiraan Sam.
Pemuda itu terdiam untuk beberapa saat, memulihkan kesadarannya setelah tidur nyenyak yang panjang di kamarnya. Tapi mendadak ia tersentak. Oh ya, setelah ritual semalam itu, apa yang terjadi ya?

Sam mengalihkan pandangannya kemudian kepada Polly – yang masih saja terduduk diam dengan tatapan cemas terhadap Sam.

“Kenapa lo masih ada di sini? Bukannya lo udah balik ke Asgard?” tanya Sam nggak kalah cemas dengan tatapan Polly. “Oh ya, sebelumnya... Apa yang terjadi semalam setelah ritual aneh itu? Kok gue nggak inget apa-apa ya?”

Polly tersenyum lega. Rasa cemas terhapus dari wajahnya yang agak oval dan juga agak bulat. “Syukurlah kamu nggak apa-apa...” gumamnya perlahan.

Sebelah alis Sam terangkat. Dia nggak mengerti apa yang sedang Polly bicarakan maupun apa yang menyebabkan Polly secemas itu. “Apa maksudnya? Coba jelasin ke gue.”
Cewek berambut coklat itu menatap lurus kepada mata Sam. Tak lama kemudian ia mengangguk. “Kamu pingsan setelah ritual semalam.”

Tanpa menunggu perkataan selanjutnya dari Polly, Sam langsung menyela. “Pingsan? Gue pingsan? Kok bisa? Jangan-jangan gue kerasukan gara-gara upacara aneh lo itu ya?” tanya Sam bertubi-tubi. Matanya menatap tajam kepada Polly, menuntut jawaban yang sebenarnya.

Polly buru-buru menggeleng. “Bukan, bukan! Upacara Polly kemarin itu bukan untuk manggil setan atau sejenisnya kok. Kan Polly udah jelasin, semua itu supaya Polly bisa kembali ke Asgard. Mungkin kemarin kamu pingsan gara-gara terlalu capek. Kalau yang nggak terbiasa, memang bisa berefek samping begitu. Spirit power kamu kan rendah.”

“Apaan tuh spirit power?” tanya Sam.

Cewek itu memutar-mutar arah pandangannya. Ia berusaha berpikir kata-kata apa yang cocok untuk menjelaskan apa yang disebut sebagai spirit power itu. “Nggg... Apa ya? Polly sendiri nggak begitu pandai menjelaskan. Mungkin mirip ama... kekuatan magis? ...Atau apa ya?”

Sam mengerutkan keningnya. Dia sama sekali nggak mengerti apa yang Polly gumamkan. Cewek itu lebih terdengar seperti sedang berbicara sendiri ketimbang sedang menjelaskan pada Sam. “Sudahlah, nggak usah dipikirin lagi,” ujar Sam diiringi dengan helaan napas.

Polly pun tersadar dari ‘dunia’-nya. “Ah, maaf. Polly jadi asyik sendiri.”

“Nggak apa-apa,” balas Sam. ‘Sudah kuduga, cewek ini memang aneh’ pikirnya kemudian.

Tiba-tiba Sam kembali teringat dengan apa yang ingin dikatakannya tadi. “Eh ya. gue mau minta maaf. Gara-gara gue pingsan, upacara ritual semalam jadi gagal ya? Mungkin bisa kita coba lain kali?” katanya sambil menunduk. Jujur saja, dia agak merasa nggak enak terhadap Polly. Sebagai partner, dia sudah gagal.

Polly terdiam, membuat Sam tampak semakin kikuk. Cewek itu tidak menatap Sam sama sekali – mungkin dia marah? Arah pandangannya seperti berputar kesana kemari, menunjukkan kalau dia sedang berpikir. “...Kita sebenernya udah di Asgard kok,” katanya perlahan.

Sesaat – lagi-lagi – Sam tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Polly. Ini kan jelas-jelas adalah kamarnya, bukan di tempat lain.

Seakan mengerti ekspresi Sam, Polly menjelaskan situasi secara singkat. “Sebenarnya, Asgard itu dunia paralelnya bumi. Jadi, pemandangannya yang kamu lihat sekarang ini bukan lagi duniamu, melainkan Asgard.”

Sam tidak berkata sepatah kata pun. Setelah ia mencerna ucapan Polly tadi, akhirnya ia baru membuka mulut. Diucapkannya kalimat itu dengan nada senormal mungkin. “Polly... please. Gue bukan anak TK yang bisa dibohongin ama lo. Apa buktinya kalau lo yakin ini Asgard, bukan bumi?” tantang Sam.

Polly memilin-milin rambutnya. “Unnggg... Mungkin, dengan begini kamu bisa percaya?”
Cewek itu membaca mantra singkat dari buku saku kecil di roknya. Tidak lama setelah ia selesai berkata-kata, muncullah sebuah lidah api di tengah-tengah mereka. Jelas ini membuat Sam melotot. Bukan sulap bukan sihir nih..., hehehe.

“Ini nggak bisa dilakukan kalau di bumi lho. Soalnya di sana, nggak ada magic aura, beda ama Asgard. Makanya untuk mengadakan upacara ritual kemarin, kita butuh bantuan bulan. Nah, kamu udah percaya?” tanya Polly dengan senyum yang nakal.

Sam terpaksa mengangguk. “Meskipun belum 100%,” sambungnya kemudian. Walau agak kesal karena masih merasa diragukan, Polly tersenyum puas – merasa menang kali ya?
Segera setelah itu, Sam tiba-tiba berdiri dari tempat tidurnya. “Tunggu! Ada hal yang lebih penting dari ini! Kalau ini bener di Asgard, berarti lo harus cepet balikin gue ke bumi asal gue. Sekarang gue mesti sekolah!” teriak Sam panik.

Permintaan Sam ini membuat Polly terdiam.

“Kenapa?!” tanya Sam dengan nada setengah berteriak.

Dengan ragu-ragu dan ketakutan (abisnya dibentak Sam sih), Polly menjawab, “Itu... nggak bisa Polly lakukan...”

“Maksudmu?” tanya Sam beberapa detik setelah itu.

Polly menelan ludah. “Seharusnya, nggak boleh ada hubungan antara duniamu dengan dunia Polly. Kejadian kemarin itu, semua hanya kecelakaan yang nggak terduga. Seharusnya, jalur antara dunia kamu dan dunia Polly itu nggak ada.”

“Jadi, dengan kata lain, gue nggak bisa pulang. Begitu?” tanya Sam dengan nada datar. Pertanyaannya kemudian dijawab dengan anggukan kecil dari Polly.

“Kalau gitu, kenapa lo maksa gue bikin ritual aneh itu! Kalau gue nggak ikut upacara aneh lo, gue mungkin nggak bakal terjebak di dunia ini!” bentak Sam keras-keras. Ia menumpahkan segala amarahnya kepada Polly. Kepalanya sekarang benar-benar pusing. Masa iya dia harus menghabiskan seumur hidupnya di dunia yang sama sekali nggak ia kenal.

Polly mulai menunjukkan mata yang basah karena air mata. “Maaf... Polly nggak tau kalau upacara itu bakal membawa kamu ikut serta ke sini. Soalnya, sebelum ini, belum pernah ada orang yang mencoba melakukan upacara ini...” jawab Polly terisak-isak.

Sam mencapai puncak kemarahannya. “Kalau gitu kenapa lo lakuin? Lo nggak tau kalau itu bisa aja membahayakan nyawa orang?! Lo tuh terlalu nekat! Liat buktinya sekarang! Kalau emang belum pernah ada yang melakukan, lo tau dari mana soal ritual itu?”

Masih sambil menangis, Polly menjawab pertanyaan Sam, “Itu... Polly dengar dari dongeng. Maaf! Polly melakukan ini semua semata-mata demi kembali ke dunia Polly, tapi malah membuat kamu yang nggak bisa kembali...”

Sam menarik napas, hendak memaki-maki lagi. Untunglah sesaat sebelum ia membuka mulut, akal sehatnya kembali berjalan.

‘Gawat, gue udah keterlaluan. Gue ampe bikin cewek nangis...’ batin Sam menyesal dalam hati.

Pemuda itu menghela napas. “Ya sudahlah. Toh, gue yang memutuskan untuk bantuin lo. Itu semua bukan sepenuhnya salah lo kok. Makanya, berhentilah menangis sekarang juga,” hibur Sam. Dielusnya kepala mungil Polly dengan lembut.

Polly agak kaget. Dia nggak menyangka ternyata Sam bisa bertindak baik seperti tadi. Kirain dia bakal ngamuk-ngamuk sampai puas.

Sam menatap keluar jendela, ke arah sinar matahari yang nggak ada bedanya sama yang di dunia asli. “Yaaa, apa boleh buat. Terpaksa gue tinggal di sini untuk sementara. Bukan berarti gue menyerah lho. Gue bakal nyari info tentang gimana caranya gue bisa kembali ke dunia gue. Lo juga bantu ya!” ujar Sam sambil menyentil pelan ujung hidung Polly.

“Aw!” Polly mengusap-usap hidungnya yang kesakitan. “Nggg... Baiklah. Serahkan padaku!”

Sam tersenyum lega. Akhirnya cewek di depannya itu berhenti menangis juga. Sekarang, masalah bagi Sam adalah menemukan cara supaya dia bisa kembali ke bumi. Entah berapa lama ia akan memakan waktu. Sehari? Seminggu? Sebulan? Setahun? Atau bahkan berpuluh-puluh tahun?

“Eh ya, Sam!” panggil Polly dengan riang.

Yang dipanggil pun menengok. “Yah? Ada apa?” sahutnya.

Polly tersenyum penuh arti. “SELAMAT DATANG DI ASGARD!!!”